Tuesday, January 17, 2012

Lukisan yang rusak

Suatu hari ada seorang pelukis terkenal sedang menyelesaikan lukisannya dan lukisan ini adalah lukisan yang sangat bagus. dan lukisan ini dipakai pada saat pernikahan putri diana.

Sang pelukis ketika menyelesaikan lukisannya sangat senang dan memandangi lukisan yang berukuran 2×8 m dan sambil memandanginya pelukis tersebut berjalan mundur. dan ketika berjalan mundur pelukis tersebut tidak melihat ke belakang. dia terus berjalan mundur dan dibelakang adalah ujung dari gedung tersebut yang tinggi sekali dan tinggal satu langkah lagi dia mengakhiri hidupnya.

Salah seorang melihat pelukis tersebut dan hendak berteriak untuk memperingatkan pelukis tersebut tapi tidak jadi karena dia berpikir sekali dia berteriak pelukis tersebut malah bisa jatuh. Kemudian orang yang melihat pelukis tersebut mengambil kuas dan cat yang ada didepan lukisan tersebut lalu mencoret-coret lukisan tersebut sampai rusak.

Pelukis tersebut sangatlah marah dan maju hendak memukul orang tersebut. tetapi beberapa orang yang ada disitu menghadang dan memperlihatkan posisi pelukis tadi yang nyaris jatuh.

Kadang-kadang kita telah melukiskan masa depan kita dengan sangat bagus dan memimpikan suatu hari yang indah bersama dengan pasangan yang kita idamkan. tetapi lukisan itu kelihatannya dirusak oleh Tuhan, karena Tuhan melihat bahaya yang ada pada kita kalau kita melangkah. Kadang-kadang kita marah dan jengkel terhadap Tuhan atau juga terhadap pemimpin kita. tapi perlu kita ketahui Tuhan selalu menyediakan yang terbaik.

Ketika aku sudah tua

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku......
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah
bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah
beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu
mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru,
jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap pertanyaan "mengapa"
darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat.

Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
di samping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu
mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini,
sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh
rasa syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga
untukmu.

Pesan:
Hormati Ayah dan Ibumu sebelum mereka meninggalkan anda dengan kedukaan yang mendalam.

Perangkap Tikus

Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikur memperhatikan dengan seksama sambil menggumam "hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??"


Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang.
Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak
" Ada Perangkap Tikus di rumah....di rumah sekarang ada perangkap tikus...."

Ia mendatangi ayam dan berteriak " ada perangkap tikus"
Sang Ayam berkata " Tuan Tikus..., Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku"

Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak.
Sang Kambing pun berkata " Aku turut ber simpati...tapi tidak ada yangbisa aku lakukan"

Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama.
" Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali"

Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata

" Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku"

Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri.

Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilikrumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.

Sang suami harus membawa istrinya kerumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam.

Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam (kaki ayam) oleh suaminya.
(kita semua tau, sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam)
Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.


Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang temanmenyarankan untuk makan hati kambing.
Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.

Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman.
Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.


Dari kejauhan...Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan.
Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.


SO...KALAU SUATU HARI..
KETIKA ANDA MENDENGAR SESEORANG DALAM KESULITAN DAN MENGIRA ITU BUKAN URUSAN ANDA...
PIKIRKANLAH SEKALI LAGI!!!!

Kisah Cinta Sejati dari Negeri Sebelah


"true love doesn't have a happy ending, because true love never
ends."
bener ga?
==========================================

Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji
mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di
negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih
baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan
keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit.

"Di sini keadaan sulit," katanya sambil memeluk
putranya dan mengucapkan selamat tinggal. "Kau adalah
harapan kami."

Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan
transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja
sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos
pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas
di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.

Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal
lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya
penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari
ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua
kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut
oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang
disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu
nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka
Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan
mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga
mereka sudah lama berteman dan selama itu pula
diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.

Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang
menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori
Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk
di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan
mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah
gadis itu agar bisa betemu dengannya. Setiap malam
sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali
membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan
memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya,
meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.

Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi
lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan
putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka
bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan
bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan
membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas.
Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu
datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.

Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu
bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi
tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang
sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan
menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang
wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi
kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga
dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur
dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering
yang dipetiknya di padang rumput.

Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya
sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga
daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun
kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit
ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji
melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal
Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap,
kemudian tersentak karena kecewa.

Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang
turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di
depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa
memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar
diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. "Selamat
datang," katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum
tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik.

"Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku
datang ke sini," kata Yumi, sambil sekilas memandang
mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi.

"Aku akan mengurus bawaanmu," kata Shinji dengan
senyum terpaksa.

Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak
Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi
bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di
tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di
sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua
kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka
telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan
senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan
sentuhan ajaib seorang wanita.

Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji
dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di
ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia
bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya
untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun
lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa
bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah
sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke
kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak
itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan
berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di
beranda setelah makan malam.

Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur
punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka
longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung
pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk
membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup,
tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi
muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang
terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir
kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi
melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung
lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki
terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda.
Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke
pondok.

Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, "Aku
takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu.
Terima kasih, Yumi."

"Sama-sama," gadis itu menjawab sambil tersenyum
tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia
masuk ke kamarnya.

Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga
Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha
keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali
berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan
bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke
stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka
turun dari kereta api di ujung peron.

Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji.
"Sambutlah dia," katanya.

Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, "Apa maksudmu?"

"Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri
Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan
bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara
Perayaan pesta bunga lalu." Dia mengangguk ke arah
adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. "Aku tahu
bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi
istrimu."

"Tapi..."

Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. "Ssstt,"
bisiknya. "Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu
mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya
melihatmu bahagia. Sambutlah adikku."

Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan
menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama
kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia
ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput,
ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan
perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi
karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa
yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak
diketahuinya.

"Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan." Shinji
merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan
mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah
didalam dadanya.

Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan
berseru-seru, "Kami datang untuk menghadiri pernikahan
kalian!"

Kisah Racun Penyembuh

Seorang gadis bernama Li-li menikah dan tinggal bersama suami dan ibu
mertua. Dalam waktu singkat, Li-li menyadari bahwa ia tidak dapat cocok
dengan ibu mertuanya dalam segala hal. Kepribadian mereka berbeda, dan
Li-li sangat marah dengan banyak kebiasaan ibu mertua. Li-li juga
dikritik terus-menerus. Hari demi hari, minggu demi minggu, Li-li dan ibu mertua
tidak pernah berhenti konflik dan bertengkar. Keadaan jadi tambah
buruk, karena berdasarkan tradisi Cina, Li-li harus taat kepada setiap
permintaan sang mertua.

Semua keributan dan pertengkaran di rumah itu mengakibatkan suami
yang miskin itu ada dalam stress yang besar.

Akhirnya, Li-li tidak tahan lagi dengan temperamen buruk dan dominasi
ibu mertuanya, dan dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Li-li pergi menemui teman baik ayahnya, Mr Huang, yang menjual jamu.
Li-li menceritakan apa yang dialaminya dan meminta kalau-kalau
Mr Huang dapat memberinya sejumlah racun supaya semua kesulitannya
selesai.

Mr Huang berpikir sejenak dan tersenyum dan akhirnya berkata, Li-li,
saya akan menolong, tapi kamu harus mendengarkan dan melakukan
semua yang saya minta.

Li-li menjawab,"Baik, saya akan melakukan apa saja yang anda minta."
Mr Huang masuk kedalam ruangan dan kembali beberapa menit kemudian
dengan sekantong jamu.

Dia memberitahu Li-Li, "Kamu tidak boleh menggunakan racun yang
be-reaksi cepat untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena nanti
orang-orang akan curiga. Karena itu saya memberimu sejumlah jamu
yang secara perlahan akan meracuni tubuh ibu mertuamu.
Setiap hari masakkan daging babi atau ayam dan kemudian campurkan
sedikit jamu ini. Nah, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang
mencurigaimu pada waktu ia meninggal, kamu harus berhati-hati
dan bertindak dangan sangat baik dan bersahabat. Jangan berdebat
dengannya, taati dia, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."

Li-Li sangat senang. Dia kembali ke rumah dan memulat rencana
pembunuhan terhadap ibu mertua.

Minggu demi minggu berlalu, dan berbulanbulan berlalu, dan setiap
hari, Lili melayani ibu mertua dengan masakan yang dibuat secara
khusus. Li-Li ingat apa yang dikatakan Mr Huang tentang menghindari
kecurigaan, jadi Li-Li mengendalikan emosinya, mentaati ibu mertua,
memperlakukan ibu mertuanya seperti ibu-nya sendiri dengan sangat
baik dan bersahabat.

Setelah eman bulan, seluruh rumah berubah. Li-li telah belajar
mengendalikan emosi-nya begitu rupa sehingga hampir-hampir ia tidak
pernah meledak dalam amarah atau kekecewaan. Dia tidak berdebat
sekalipun dengan ibu mertua-nya, yang sekarang kelihatan jauh lebih
baik dan mudah ditemani.

Sikap ibu mertua terhadp Li-li berubah, dan dia mulai menyayangi
Li-li seperti anaknya sendiri. Dia terus memberitahu teman-teman dan
kenalannya bahwa Li-li adalah menantu terbaik yang pernah ditemuinya.
Li-li dan ibu mertuanya sekarang berlaku sepertu ibu dan anak sungguhan.
Suami Li-li sangat senang melihat apa yang telah terjadi.

Satu hari, Li-li datang menemui Mr. Huang dan minta pertolongan lagi.
Dia berkata, "Mr Huang, tolonglah saya untuk mencegah racun itu
membunuh ibu mertua saya. Dia telah berubah mencaji wanita yang
sangat baik dan saya mengasihinya seperti ibu saya sendiri.
Saya tidak ingin di a mati karena racun yang saya berikan."

Mr. Huang tersenyum dan mengangkat kepalanya. "Li-li, tidak usah
khawatir. Saya tidak pernah memberimu racun. Jamu yang saya
berikan dulu adalah vitamin untuk meningkatkan kesehatannya.
Satu-satunya racun yang pernah ada ialah didalam pikiran dan
sikapmu terhadapnya, tapi semua sudah lenyap oleh kasih yang
engkau berikan padanya."

dari : sebuah sumber

Kisah Lelaki Sejati

Aku bertanya pada Bunda, bagaimana memilih lelaki sejati?
Bunda menjawab, Nak...

Laki-laki Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang
kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang
disekitarnya....

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang
lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan
kebenaran.....

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat
di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada
generasi muda bangsa ...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia
di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia
dihormati didalam rumah...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari kerasnya
pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami
persoalan...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang
bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari banyaknya
wanita yang memuja, tetapi komitmennya terhadap wanita
yang dicintainya...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel
yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menghadapi
lika-liku kehidupan...

Laki-laki Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya
membaca kitab suci, tetapi dari konsistennya dia
menjalankan apa yang ia baca...


dari : sebuah sumber

Puisi Terakhir (by : Christy A. Sitorus)

            Kita masih disini…
            Masih menghirup udara yang sama di ruangan ini.
            Entah sampai kapan kita mampu bertahan.
            Tapi kita harus tetap berjuang.
            Saat ini mungkin tak akan pernah kembali,
            Maka nikmatilah saat ini.
            Saat esok hari menjelang, maka biarkan hari ini menjadi kenangan.

            Entah sudah berapa banyak puisi yang ditulis oleh Cathrine. Sambil menunggu Lexi sadar dari keadaan komanya. Kekasihnya yang sudah hampir dua minggu terbaring tidak sadarkan diri di ruang ICU rumah sakit. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Lexi mengidap kanker otak dan sudah mencapai stadium akhir, tapi Cathrine tetap percaya bahwa mujizat Tuhan dapat terjadi kapan saja, bahkan disaat manusia merasa tidak mungkin, sangat mudah bagi Tuhan untuk membuatnya menjadi mungkin.
            “Aku percaya Tuhan akan memberi semua yang terbaik untuk kita. Cepat sembuh ya, supaya kita bisa mengulangi semua kejadian indah yang pernah kita lalui bersama. Aku rindu saat kita pergi kuliah dan ibadah bareng, dan juga saat-saat kita jalan bersama”. Ucap Cathrine sambil mengelus lembut kepala Lexi.
Untuk malam ini, Cathrine memang meminta izin untuk dapat menjaga Lexi hingga esok pagi. Entah mengapa malam ini, dia begitu ingin mengenang semua masa-masa yang mereka lewati bersama. Cathrine mengalihkan pandangannya ke dinding yang ada di hadapannya dan terlihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.
            Kembali angannya melayang mengingat perkenalannya dengan lelaki yang terbaring lemah di hadapannya tersebut beberapa tahun yang lalu. Sudah hampir enam tahun mereka berkenalan, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA. Sebagai dua orang siswa yang sama-sama berprestasi, tidak jarang mereka harus bersaing, baik di dalam kelas maupun ketika mereka berkompetisi di luar sekolah. Persaingan yang sportif membuat mereka menikmati persaingan itu dan malah membuat mereka semakin dekat. Mereka saling menikmati kedekatan itu, karena kedekatan itu membuat mereka saling memberikan dukungan satu sama lain. Rasa yang tidak bisa dicegah akhirnya menghampiri, rasa simpati dan kagum satu sama lain berubah menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan. Mereka tidak berusaha menghindar karena mereka tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan getaran yang sama. Hari-hari semakin indah, prestasi mereka sama-sama meningkat, begitupun juga rasa sayang itu, hingga saat ini mereka duduk di bangku kuliah. Namun semua itu mulai terusik beberapa bulan yang lalu, sejak Lexi mulai berubah, seakan ada yang dia sembunyikan dari kekasihnya, Cathrine.
            Lexi mulai menghindari Cathrine. Biasanya setiap hari mereka selalu terlihat bersama di kampus, namun perlahan Lexi mulai jarang terlihat di kampus. Saat Cathrine mencoba menghubungi, selalu saja tak pernah ada respon dari si penerima telepon. Sampai akhirnya, Cathrine mengetahui bahwa Lexi sudah hampir sebulan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali Cathrine menjenguknya, Lexi masih bisa tersenyum dan berkata, “semua akan baik-baik saja, jadi tak perlu khawatir”. Tapi, saat ini jangankan untuk berkata hal seperti itu lagi, bahkan untuk membuka matanya, Lexi seakan tak mampu.
Aku hanya meminta sedikit kebahagiaanmu, Tapi bahkan kesedihan pun tak kau bagi denganku
            Sambil menuliskan dua penggal kalimat tersebut, tak sadar air mengalir dari sudut mata Cathrine.
            Terima kasih untuk perkenalan yang indah…
            Terima kasih untuk jadi motivator terbaik dalam hidupku…
            Terima kasih untuk semua bahagia dan tawa yang ada…
            Terima kasih untuk semua cintamu…
            Kembali mata Cathrine tertuju pada jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Tapi tak sedikitpun ia merasa kantuk, dan tak sedikitpun ada keinginannya untuk berbaring. Dia tetap memandang wajah tampan pria di hadapannya sambil memegang buku yang berisi puisi-puisi yang ia tulis selama dua minggu dia berada di rumah sakit ini.
            “Kalau kamu sadar nanti, aku akan berikan buku yang berisi puisi ini untuk kamu, agar kamu tahu betapa aku sangat berharap untuk kesembuhanmu. Dan berjanjilah, kalau lain kali kamu sakit tolong jangan pernah menghindar dari aku. Kapanpun kamu mau, telinga ini selalu siap untuk mendengar setiap keluhanmu, dan pundak ini selalu ada untuk tempatmu bersandar saat rasa sakit itu menyerangmu.” Cathrine mulai mengajak Lexi berbicara.
            “Aku rindu dengan mata indahmu, suara merdumu, senyum manismu, dan nasihat-nasihatmu.. aku akan tetap menunggu sampai keajaiban itu datang dan terjadi padamu.”
            “Kamu tahu nggak Lex… aku sangat senang saat ini, karena aku dapat berdua dengan kamu, mengenang semua yang aku lewati dengan kamu, menulis puisi-puisi untuk kamu. Tapi aku mulai lelah dengan semua ini, tolong segera bangun dari tidurmu sebelum rasa jenuh ini benar-benar menguasai pikiranku. Sebelum harapan ini memudar…” ucap Cathrine.
            Tak sadar sudah berapa lama dia menangis dan berapa banyak air mata yang tertumpah. Rasa lelah untuk penantian ini sudah hampir mencapai batasnya. Ingin menyerah, namun ia masih tetap percaya bahwa harapan itu masih ada.
            Tiba-tiba Cathrine merasa ada gerakan lembut dan pelan yang menyentuh pipinya. Ia tersentak dan segera menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Rasa kaget, bahagia dan haru tercampur menjadi satu ketika melihat mata indah itu terbuka secara perlahan. Si pemilik mata indah menatap Cathrine dengan lembut.
            “Lex..Lexi… kamu udah sadar. Terima kasih Tuhan buat mujizat ini. Terima kasih untuk jawaban atas penantianku ini. Maaf untuk harapan yang mulai goyah”. Ucap Cathrine seraya bersyukur atas kejadian ini.
            Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Lexi, mereka hanya saling bertatap mata. Cathrine dapat melihat dari mata Lexi begitu banyak kata yang ingin ia keluarkan, begitu banyak cerita yang ingin ia sampaikan. Tapi Cathrine sadar bahwa ia tak dapat memaksa keadaan untuk kembali seperti dulu. Mereka memerlukan proses untuk mengembalikan semua keadaan seperti sedia kala.
            Tapi rasa bahagia itu hanya sesaat saja, tiba-tiba keadaan berubah menjadi tegang. Terlihat mesin yang menyambungkan kabel ke bagian tubuh Lexi memberikan sinyal bahwa orang yang menggunakannya dalam keadaan darurat. Cathrine tak tahu harus bagaimana, ia berlari mencari dokter di luar ruangan, berteriak meminta pertolongan. Dokter datang dan segera memeriksa keadaan Lexi, namun apa yang terlihat adalah bahwa dokter dan suster yang ada di ruangan tersebut sudah mulai melepas semua alat bantu yang ada di seluruh bagian tubuh Lexi.
            “Kami sudah berusaha, tapi kehendak Tuhan
berkata lain. semoga semua keluarga tabah menerima ini”. Ucap dokter memberi keterangan pada Cathrine.
            Dunia seakan berhenti bagi Cathrine. Harapannya kali ini benar-benar sudah musnah. Tak akan ada lagi harapan untuk kesembuhan Lexi. Di sudut ruangan terlihat dokter melihat ke arah jam tangannya dan Cathrine pun ikut melihat jam yang tergantung di dinding ruangan. Pukul dua belas tepat. Keluarga Lexi yang baru saja tiba juga segera berlari masuk ke dalam ruangan untuk melihat orang yang di kasihi untuk terakhir kalinya. Sementara Cathrine terduduk di lantai ruangan rumah sakit, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang sebentar lagi akan sirna. Tapi ini bukanlah mimpi, namun adalah benar-benar kenyataan, kenyataan yang menyakitkan yang harus ia hadapi.
            “Lexiii… kenapa harus membuka mata itu, kalau kamu ingin menutupnya selamanya? Kenapa tak kamu biarkan saja mata itu tertutup malam ini, namun nafas itu tetap ada selamanya?” Cathrine merintih dalam tangisannya.
            “Aku ingin menulis puisi yang terakhir untuk kamu, setelah ini aku tak akan pernah menulis puisi-puisi lainnya selamanya.” Ucap Cathrine sambil membuka buku yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya, seraya menahan air yang ada di sudut matanya sehingga tak jadi tertumpah membasahi pipinya.
            Penantianku terjawab…
            Harapanku tercapai…
            Aku menyayangimu, namun tak mampu memilikimu.
            Aku mengharapkanmu, namun Tuhan berkehendak lain padamu.
            Aku kecewa… Aku marah…
            Namun apa guna jika itu mampu
            membuatmu bahagia.
            Aku tak rela…
            Namun keadaan memaksa.
            Setiap awal akan berakhir
            Setiap pertemuan akan berujung perpisahan
            Tapi tetaplah percaya, setiap kejadian akan   memberi hikmah.
            Selamat Jalan kekasih
            Bahagiaku untukmu selamanya…

            Itulah puisi terakhir yang di tulis Cathrine, setelah menyelesaikan puisi tersebut, Cathrine meninggalkan buku itu di bangku rumah sakit dan segera bergegas meninggalkan rumah sakit.
            “Terima kasih untuk cinta itu, percayalah… saat engkau bahagia di alam sana, begitupun aku akan melanjutkan kehidupanku di alam ini dengan bahagia.” Ucap Cathrine tersenyum menabahkan dirinya dan kemudian berjalan keluar rumah sakit.